Sejarah dan
Kebudayaan
Suku Bugis
UNIVERSITAS GUNADARMA
Disusun oleh :
Nama: Nabila Adilah
NPM: 55412195
Kelas : 1IA02
1.
Sejarah
Bugis merupakan kelompok etnik dengan wilayah asal Sulawesi Selatan. Penciri utama kelompok etnik ini adalah bahasa dan adat-istiadat, sehingga pendatang Melayu dan Minangkabau yang merantau ke Sulawesi sejak
abad ke-15 sebagai tenaga administrasi dan pedagang di Kerajaan Gowa dan
telah terakulturasi, juga dikategorikan sebagai orang Bugis. Berdasarkan sensus penduduk Indonesia tahun 2000, populasi orang Bugis sebanyak sekitar enam
juta jiwa. Kini orang-orang Bugis menyebar pula di berbagai provinsi Indonesia,
seperti Sulawesi Tenggara,Sulawesi Tengah, Papua, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Orang Bugis juga
banyak yang merantau ke mancanegara.
Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam
suku-suku Melayu
Deutero. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari
daratanAsia tepatnya Yunan. Orang Bugis zaman dulu menganggap nenek moyang mereka
adalah pribumi yang telah didatangi titisan langsung dari “dunia atas” yang
“turun” (manurung) atau dari “dunia bawah” yang “naik” (tompo) untuk membawa
norma dan aturan sosial ke bumi (Pelras, The Bugis, 2006). Umumnya orang-orang
Bugis sangat meyakini akan hal to manurung, tidak terjadi banyak perbedaan
pendapat tentang sejarah ini. Sehingga setiap orang yang merupakan etnis Bugis,
tentu mengetahui asal-usul keberadaan komunitasnya. Kata
"Bugis" berasal dari kata To
Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada raja
pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, Kabupaten
Wajo saat ini, yaitu
La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka
merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau
orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We
Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayah dari Sawerigading. Sawerigading
sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar di
dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware
(Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La
Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam
tradisi masyarakat Luwuk,
Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi
seperti Buton.
Dalam perkembangannya, komunitas ini
berkembang dan membentuk beberapa kerajaan. Masyarakat ini kemudian
mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, dan pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan
Bugis klasik antara lain Luwu, Bone, Wajo,
Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng dan Rappang. Meski tersebar dan membentuk
suku Bugis, tapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah dengan Makassar dan Mandar. Saat ini orang
Bugis tersebar dalam beberapa Kabupaten yaitu Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang,Barru.
Daerah peralihan antara Bugis dengan Makassar adalah Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene
Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang. Kerajaan Luwu
adalah kerajaan yang dianggap tertua bersama kerajaan Cina (yang kelak menjadi
Pammana), Mario (kelak menjadi bagian Soppeng) dan Siang (daerah di Pangkajene
Kepulauan)
Penyebaran Islam
Pada awal abad ke-17, datang penyiar agama Islam dari Minangkabau atas perintah Sultan Iskandar Muda dari Aceh. Mereka adalah Abdul Makmur (Datuk ri Bandang) yang mengislamkan Gowa dan Tallo, Suleiman (Datuk Patimang) menyebarkan Islam di Luwu, dan Nurdin Ariyani (Datuk ri Tiro) yang menyiarkan Islam di Bulukumba.
Kolonialisme Belanda
Pertengahan
abad ke-17, terjadi persaingan yang tajam antara Gowa dengan VOC hingga terjadi beberapa kali
pertempuran. Sementara Arumpone ditahan di Gowa dan mengakibatkan terjadinya
perlawanan yang dipimpin La Tenri Tatta Daeng Serang Arung Palakka. Arung Palakka didukung oleh Turatea, kerajaaan kecil
Makassar yang berhianat pada kerajaan Gowa. Sementara Sultan
Hasanuddin didukung
oleh menantunya La Tenri Lai
Tosengngeng Arung Matowa Wajo, Maradia Mandar, dan Datu Luwu. Perang yang
dahsyat mengakibatkan banyaknya korban di pihak Gowa & sekutunya. Kekalahan
ini mengakibatkan ditandatanganinya Perjanjian Bongaya yang merugikan kerajaan Gowa.
Pernikahan Lapatau dengan putri Datu Luwu, Datu Soppeng, dan Somba Gowa adalah
sebuah proses rekonsiliasi atas konflik di jazirah Sulawesi Selatan. Setelah
itu tidak adalagi perang yang besar sampai kemudian pada tahun 1905-1906
setelah perlawanan Sultan Husain Karaeng Lembang Parang dan La Pawawoi Karaeng
Segeri Arumpone dipadamkan, maka masyarakat Makassar dan Bugis baru bisa
betul-betul ditaklukkan Belanda. Kosongnya kepemimpinan lokal mengakibatkan
Belanda menerbitkan Korte
Veklaring, yaitu perjanjian pendek tentang pengangkatan raja sebagai
pemulihan kondisi kerajaan yang sempat lowong setelah penaklukan. Kerajaan tidak
lagi berdaulat, tapi hanya sekedar perpanjangan tangan kekuasaaan pemerintah
kolonial Hindia
Belanda, sampai kemudian muncul Jepang menggeser Belanda hingga berdirinya
NKRI.
Masa Kemerdekaan
Masa Kemerdekaan
Para
raja-raja di Nusantara mendapat desakan oleh pemerintahan Orde Lama (Soekarno)
untuk membubarkan kerajaan mereka dan melebur dalam wadah NKRI. Pada tahun
1950-1960an, Indonesia khususnya Sulawesi Selatan disibukkan dengan
pemberontakan. Pemberontakan ini mengakibatkan banyak orang Bugis meninggalkan
kampung halamannya. Pada zaman Orde Baru,
budaya periferi seperti budaya di Sulawesi benar-benar dipinggirkan sehingga
semakin terkikis. Sekarang generasi muda Makassar & Bugis adalah generasi
yang lebih banyak mengonsumsi budaya material sebagai akibat modernisasi,
kehilangan jati diri akibat pendidikan pola Orde Baru yang meminggirkan budaya
mereka. Seiring dengan arus reformasi, munculah wacana pemekaran. Daerah Mandar
membentuk propinsi baru yaitu Sulawesi
Barat. Kabupaten Luwu terpecah tiga daerah tingkat dua. Sementara
banyak kecamatan dan desa/kelurahan juga dimekarkan. Namun sayangnya tanah
tidak bertambah luas, malah semakin sempit akibat bertambahnya populasi dan
transmigrasi.
Bugis Perantauan
Bugis Perantauan
Kepiawaian suku Bugis dalam mengarungi samudra cukup dikenal luas, dan wilayah
perantauan mereka pun hingga Malaysia, Filipina, Brunei, Thailand, Australia, Madagaskar dan Afrika
Selatan. Bahkan, di pinggiran kota Cape Town,
Afrika Selatan terdapat sebuah suburb yang bernama Maccassar, sebagai tanda
penduduk setempat mengingat tanah asal nenek moyang mereka. Alasan merantau adalah
Konflik antara kerajaan Bugis dan Makassar serta konflik sesama kerajaan Bugis
pada abad ke-16, 17, 18 dan 19, menyebabkan tidak tenangnya daerah Sulawesi
Selatan. Hal ini menyebabkan banyaknya orang Bugis bermigrasi
terutama di daerah pesisir. Selain itu budaya merantau juga didorong oleh
keinginan akan kemerdekaan. Kebahagiaan dalam tradisi Bugis hanya dapat diraih
melalui kemerdekaan.
Bugis Di Kalimantan Timur
Bugis Di Kalimantan Timur
Sebagian orang-orang Bugis Wajo dari kerajaan Gowa yang tidak mau tunduk dan patuh
terhadap isi perjanjian Bongaja, mereka tetap
meneruskan perjuangan dan perlawanan secara gerilya melawan Belanda dan ada
pula yang hijrah ke pulau-pulau lainnya diantaranya ada yang hijrah ke daerah Kesultanan
Kutai, yaitu rombongan yang dipimpin oleh Lamohang Daeng Mangkona
(bergelar Pua Ado yang pertama). Kedatangan orang-orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa itu diterima dengan baik oleh Sultan
Kutai.
Atas
kesepakatan dan perjanjian, oleh Raja Kutai rombongan tersebut diberikan lokasi
sekitar kampung melantai, suatu daerah dataran rendah yang baik untuk usaha
Pertanian, Perikanan dan Perdagangan. Sesuai dengan perjanjian bahwa
orang-orang Bugis Wajo harus membantu segala kepentingan Raja Kutai, terutama
di dalam menghadapi musuh.
Semua
rombongan tersebut memilih daerah sekitar muara Karang Mumus (daerah Selili seberang) tetapi daerah
ini menimbulkan kesulitan di dalam pelayaran karena daerah yang berarus putar
(berulak) dengan banyak kotoran sungai. Selain itu dengan latar belakang
gunung-gunung (Gunung Selili).
Bugis Di Sumatera dan Malaysia
Bugis Di Sumatera dan Malaysia
Setelah
dikuasainya kerajaan Gowa oleh VOC pada pertengahan abad ke-17, banyak perantau
Melayu dan Minangkabau yang menduduki jabatan di kerajaan Gowa bersama orang
Bugis lainnya, ikut serta meninggalkan Sulawesi menuju kerajaan-kerajaan di
tanah Melayu. Disini mereka turut terlibat dalam perebutan politik
kerajaan-kerajaan Melayu. Hingga saat ini banyak raja-raja diJohor & selangor yang merupakan keturunan Luwu.
2. Kebudayaan
Adat Istiadat
Salah satu daerah yang didiami oleh suku Bugis adalah
Kabupaten Sidenreng Rappang. Kabupaten Sidenreng Rappang disingkat dengan nama
Sidrap adalah salah satu kabupaten di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu
kota kabupaten ini terletak di Pangkajene Sidenreng. Kabupaten ini memiliki
luas wilayah 2.506,19 km2 dan berpenduduk sebanyak kurang lebih 264.955 jiwa.
Penduduk asli daerah ini adalah suku Bugis yang ta’at beribadah dan memegang
teguh tradisi saling menghormati dan tolong menolong. Dimana-mana dapat dengan
mudah ditemui bangunan masjid yang besar dan permanen. Namun terdapat daerah
dimana masih ada kepercayaan berhala yang biasa disebut ‘Tau Lautang’ yang
berarti ‘Orang Selatan’.
Mata Pencaharian
Karena masyarakat Bugis
tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka kebanyakan dari
masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata pencaharian lain yang
diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain itu masyarakat Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan.
Adat Pernikahan
Dalam sistem perkawinan adat Bugis terdapat perkawinan
ideal:
1. Assialang Maola
Ialah
perkawinan antara saudara sepupu derajat kesatu, baik dari pihak ayah
maupun ibu.
2. Assialanna Memang
Ialah
perkawinan antara saudara sepupu derajat kedua, baik dari pihak ayah
maupun ibu.
3. Ripaddeppe’ Abelae
Ialah
perkawinan antara saudara sepupu derajat ketiga, baik dari pihak ayah
maupun ibu atau
masih mempunyai hubungan keluarga.
Adapun perkawinan – perkawinan yang dilarang dan dianggap
sumbang (salimara’):
1. perkawinan antara anak dengan ibu / ayah
2. perkawinan antara saudara sekandung
3. perkawinan antara menantu dan mertua
4. perkawinan antara paman / bibi dengan kemenakan
5. perkawinan
antara kakek / nenek dengan cucu
Tahap – tahap dalam perkawinan secara adat :
1. Lettu ( lamaran)
Ialah kunjungan
keluarga si laki-laki ke calon mempelai perempuan untuk
menyampaikan
keinginannya untu melamar calon mempelai perempuan.
2. Mappettuada. (kesepakatan pernikahan)
Ialah kunjungan
dari pihak laki-laki ke pihak perempuan untuk membicarakan
waktu
pernikahan,jenis sunrang atau mas kawin,balanja atau belanja
perkawinan
penyelanggaran pesta dan sebagainya
3. Madduppa (Mengundang)
Ialah kegiatan
yang dilakukan setelah tercapainya kesepakayan antar kedua bilah
pihak untuk
memberi tahu kepada semua kaum kerabat mengenai perkawinan yang
akan
dilaksanakan.
4. Mappaccing (Pembersihan)
Ialah ritual
yang dilakukan masyarakat bugis (Biasanya hanya dilakukan oleh kaum
bangsawan),
Ritrual ini dilakukan pada malam sebelum akad nikah di mulai,
dengan
mengundang para kerabat dekat sesepuh dan orang yang dihormati
untuk
melaksanakan ritual ini, cara pelaksanaan nya dengan menggunakan daun
pacci (daun
pacar),kemudian para undangan di persilahkan untuk memberi berkah
dan doa restu
kepada calon mempelai, konon bertujuan untuk membersihkan dosa
calon mempelai,
dilanjutkan dengan sungkeman kepada kedua orang tua calon mempelai.
Hari
pernikahan dimulai dengan mappaendre balanja , ialah prosesi dari mempelai
laki-laki disertai rombongan dari kaum kerabat, pria-wanita, tua-muda, dengan
membawa macam-macam makanan, pakaian wanita, dan mas-kawin ke rumah mempelai
wanita. Sampai di rumah mempelai wanita langsung diadakan upacara
pernikahan,dilanjutkan dengan akad nikah. Pada pesta itu biasa para tamu memberikan
kado tau paksolo’. setelah akad nikah dan pesta pernikahan di rumah mempelai
wanita selesai dilanjutkan dengan acara “mapparola” yaitu mengantar mempelai
wanita ke rumah mempelai laki-laki. mappaenre botting adalah beberapa hari setelah pernikahan para pengantin
baru mendatangi keluarga mempelai laki-laki dan keluarga mempelai wanita untuk
bersilaturahmi dengan memberikan sesuatu yang biasanya sarung sebagai simbol
perkenalan terhadap keluarga baru. Setelah itu, baru kedua mempelai menempati
rumah mereka sendiri yang disebut nalaoanni alena.
Kepercayaan
Orang-orang ini dalam seharinya menyembah berhala di
dalam gua atau gunung atau pohon keramat. Akan tetapi, di KTP (Kartu Tanda
Penduduk) mereka, agama yang tercantum adalah agama Hindu. Mereka mengaku
shalat 5 waktu, berpuasa, dan berzakat. Walaupun pada kenyataannya mereka masih
menganut animisme di daerah mereka. Saat ini, penganut kepercayaan ini banyak
berdomisili di daerah Amparita, salah satu kecamatan di Kabupaten Sidrap.
Hukum Adat
Di Sidrap pernah hidup seorang Tokoh Cendikiawan Bugis
yang cukup terkenal pada masa Addatuang Sidenreng dan Addatuang Rappang
(Addatuang = semacam pemerintahan distrik di masa lalu) yang bernama Nenek
Mallomo’. Dia bukan berasal dari kalangan keluarga istana, akan tetapi
kepandaiannya dalam tata hukum negara dan pemerintahan membuat namanya cukup
tersohor. Sebuah tatanan hukum yang sampai saat ini masih diabadikan di
Sidenreng yaitu: Naiya Ade’e De’nakkeambo, de’to nakkeana. (Terjemahan :
sesungguhnya ADAT itu tidak mengenal Bapak dan tidak mengenal Anak). Kata
bijaksana itu dikeluarkan Nenek Mallomo’ Suku Bugis adalah suku yang sangat
menjunjung tinggi harga diri dan martabat. Suku ini sangat menghindari
tindakan-tindakan yang mengakibatkan turunnya harga diri atau martabat
seseorang. Jika seorang anggota keluarga melakukan tindakan yang membuat malu
keluarga, maka ia akan diusir atau dibunuh. Namun, adat ini sudah luntur di
zaman sekarang ini. Tidak ada lagi keluarga yang tega membunuh anggota
keluarganya hanya karena tidak ingin menanggung malu dan tentunya melanggar
hukum. Sedangkan adat malu masih dijunjung oleh masyarakat Bugis kebanyakan.
Walaupun tidak seketat dulu, tapi setidaknya masih
diingat dan dipatuhiketika dipanggil oleh Raja untuk memutuskan hukuman kepada
putera Nenek Mallomo yang mencuri peralatan bajak tetangga sawahnya. Dalam
Lontara’ La Toa, Nenek Mallomo’ disepadankan dengan tokoh-tokoh Bugis-Makassar
lainnya, seperti I Lagaligo, Puang Rimaggalatung, Kajao Laliddo, dan
sebagainya. Keberhasilan panen padi di Sidenreng karena ketegasan Nenek
Mallomo’ dalam menjalankan hukum, hal ini terlihat dalam budaya masyarakat
setempat dalam menentukan masa tanam melalui musyawarah yang disebut TUDANG
SIPULUNG (Tudang = Duduk, Sipulung = Berkumpul atau dapat diterjemahkan sebagai
suatu Musyawarah Besar) yang dihadiri oleh para Pallontara’ (ahli mengenai buku
Lontara’) dan tokoh-tokoh masyarakat adat. Melihat keberhasilan TUDANG SIPULUNG
yang pada mulanya diprakarsai oleh Bupati kedua, Bapak Kolonel Arifin Nu’mang
sebelum tahun 1980, daerah-daerah lain pun sudah menerapkannya.
Adat Panen
Mulai dari turun ke sawah, membajak, sampai tiba waktunya
panen raya. Ada upacara appalili sebelum pembajakan tanah. Ada Appatinro pare
atau appabenni ase sebelum bibit padi disemaikan. Ritual ini juga biasa
dilakukan saat menyimpan bibit padi di possi balla, sebuah tempat khusus
terletak di pusat rumah yang ditujukan untuk menjaga agar tak satu binatang pun
lewat di atasnya. Lalu ritual itu dirangkai dengan massureq, membaca meong palo
karallae, salah satu epos Lagaligo tentang padi. Dan ketika panen tiba
digelarlah katto bokko, ritual panen raya yang biasanya diiringi dengan kelong
pare. Setelah melalui rangkaian ritual itu barulah dilaksanakan Mapadendang. Di
Sidrap dan sekitarnya ritual ini dikenal dengan appadekko, yang berarti adengka
ase lolo, kegiatan menumbuk padi muda. Appadekko dan Mappadendang konon memang
berawal dari aktifitas ini. Bagi komunitas Pakalu, ritual mappadendang
mengingatkan kita pada kosmologi hidup petani pedesaan sehari-hari. Padi bukan
hanya sumber kehidupan. Ia juga makhluk manusia. Ia berkorban dan berubah wujud
menjadi padi. Agar manusia memperoleh sesuatu untuk dimakan, yang seolah ingin
menghidupkan kembali mitos Sangiyang Sri, atau Dewi Sri di pedesaan Jawa, yang
diyakini sebagai dewi padi yang sangat dihormati.
Bahasa Suku Bugis
Bahasa Bugis adalah bahasa yang digunakan etnik Bugis di Sulawesi Selatan,
yang tersebar di kabupaten sebahagian Kabupaten Maros, sebahagian Kabupaten
Pangkep, Kabupaten Barru, Kota Pare-pare, Kabupaten Pinrang, sebahagian
kabupaten Enrekang, sebahagian kabupaten Majene, Kabupaten Luwu, Kabupaten
Sidenrengrappang, Kabupaten Soppeng,Kabupaten Wajo, Kabupaten Bone, Kabupaten
Sinjai, Kabupaten Bulukumba, dan Kabupaten Bantaeng. Masyarakat Bugis memiliki
penulisan tradisional memakai aksara Lontara. Pada dasarnya, suku kaum ini
kebanyakannya beragama Islam Dari segi aspek budaya, suku kaum Bugis
menggunakan dialek sendiri dikenali sebagai ‘Bahasa Ugi’ dan mempunyai tulisan
huruf Bugis yang dipanggil ‘aksara’ Bugis. Aksara ini telah wujud sejak abad ke-12
lagi sewaktu melebarnya pengaruh Hindu di Kepulauan Indonesia.
3. Kesenian
Alat musik
1.Kacapi(kecapi)
Salah satu alat musik petik tradisional
Sulawesi Selatan khususnya suku Bugis,
Bugis Makassar dan Bugis Mandar. Menurut
sejarahnya kecapi ditemukan atau
diciptakan oleh seorang pelaut, sehingga
bentuknya menyerupai perahu yang
memiliki dua dawai,diambil karena
penemuannya dari tali layar perahu.
Biasanya ditampilkan pada acara penjemputan
para tamu, perkawinan, hajatan,
bahkan hiburan pada hari ulang tahun.
2. Sinrili
Alat musik yang mernyerupai biaola cuman
kalau biola di mainkan dengan
membaringkan di pundak sedang singrili di
mainkan dalam keedaan pemain
duduk dan alat diletakkan tegak di depan
pemainnya.
3. Gendang
Musik perkusi yang mempunyai dua bentuk
dasar yakni bulat panjang dan bundar
seperti rebana.
4. Suling
Suling
bambu/buluh, terdiri dari tiga jenis, yaitu:
• Suling
panjang (suling lampe), memiliki 5 lubang nada. Suling jenis ini telah punah.
• Suling
calabai (Suling ponco),sering dipadukan dengan piola (biola) kecapi dan
dimainkan bersama penyanyi
• Suling
dupa samping (musik bambu), musik bambu masih terplihara di daerah
Kecamatan Lembang. Biasanya digunakan pada
acara karnaval (baris-berbaris) atau
acara penjemputan tamu.
Seni Tari
• Tari
pelangi; tarian pabbakkanna lajina atau biasa disebut tari meminta hujan.
• Tari
Paduppa Bosara; tarian yang mengambarkan bahwa orang Bugis jika
kedatangan tamu senantiasa menghidangkan
bosara, sebagai tanda kesyukuran
dan kehormatan
• Tari
Pattennung; tarian adat yang menggambarkan perempuan-perempuan yang
sedang menenun benang menjadi kain.
Melambangkan kesabaran dan ketekunan
perempuan-perempuan Bugis.
• Tari
Pajoge’ dan Tari Anak Masari; tarian ini dilakukan oleh calabai (waria),
namun jenis tarian ini sulit sekali
ditemukan bahkan dikategorikan telah punah.
• Jenis
tarian yang lain adalah tari Pangayo, tari Passassa ,tari Pa’galung, dan tari
Pabbatte(biasanya di gelar padasaat Pesta
Panen).
Makanan Khas
Sulawesi Selatan
1. COTO MAKASSAR
2. KONRO
3. SOP
SAUDARA
4. PISANG
EPE’
5. PISANG
IJO
6. PALU
BASSAH
7. PALA
BUTUNG
8. NASU
PALEKKO (Bebek)
Permainan
Beberapa
permainan khas yang sering dijumpai di masyarakat Bugis ( Pinrang): Mallogo,
Mappadendang, Ma’gasing, Mattoajang (ayunan), getong-getong, Marraga,
Mappasajang (layang-layang), Malonggak
Senjata Suku Bugis
Senjata Khasnya adalah Kawali
Referensi
terima kasih, Infonya sangat bermanfaat. jangan lupa kunjungi website kami juga ya... Ini Linknya http://goo.gl/SURMII dan http://goo.gl/uddshX
ReplyDeletePerkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
ReplyDeleteJika ya, silahkan kunjungi website ini www.kumpulbagi.com untuk info selengkapnya.
Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)